09 June 2006

Seputar Sesar Opak yang Mematikan

Akhir-akhir ini males banget nulis. Udah terlalu banyak komentar. Udah terlalu banyak analisa. Udah bosen makan isu dan hoax. Semua tiba-tiba aja jadi pakar gempa, pakar geologi, dan bisa bikin ramalan dan prediksi atas apa yang bakal terjadi. Hhhh...

Gw hari ini baca Tempo edisi terakhir yang dibeli Bokap. Seperti biasa, liputannya lumayan bikin ngangguk-ngangguk. Narasumber yang bisa dipercaya. Gaya tulisan yang memancing untuk terus membaca. Di majalah berita yang pernah dibredel ini, ada liputan khusus Gempa Jogja berdasarkan penelitian para pakar gempa di Jogja pada hari ketiga pasca gempa.

Seperti yang udah kita tau, gempa yang memakan ribuan korban pada tanggal 27 Mei 2006 kemaren itu, titik mematikan bukan terletak di laut, tapi di daratan. Hampir semua orang di Jogja sekarang hapal di luar kepala bab jalur patahan mematikan (Sesar Opak) sepanjang 40 kilometer yang membentang dari Pundong, sampai ke Prambanan.

Piyungan, salah satu daerah yang masuk dalam radius Sesar Opak, sangat parah kondisinya. Hampir semua rumah luluh lantak. Pada hari kedua setelah gempa terjadi (berarti hari Minggu tuh, tanggal 28 Mei 2006), gw liat sendiri gimana hampir gak ada rumah yang bisa bertahan menghadapi goyangan tektonik. Kalopun ada bangunan yang masih bertahan, dapat dipastikan bahwa bangunan itu sangat tidak layak huni, dan hanya jadi calon reruntuhan. Tinggal tunggu waktu aja.

Di situ juga ada beberapa retakan di aspal dan di tanah yang lumayan gedhe. "Jalan merekah selebar 30 sentimeter sepanjang 15 meter..., " begitu para peneliti dari BPPT dan beberapa pakar gempa lainnya menjabarkan retakan di sana. Gw sendiri gak bawa penggaris waktu itu, dan jelas-jelas masi shock liat efek gempa di sepanjang Piyungan. Menurut mereka, di rekahan itulah garis sesar berada.

Bukti jejak sesar terlihat pada Kali Opak yang bentuk sungainya sangat lurus, yaitu berhulu di Merapi lalu menuju kota Jogja, dan berakhir di Bantul. Kali Opak juga diduga terbentuk karena adanya patahan di masa lampau, lalu membentuk cekungan dan terisi air. Pada jalur sesar, 70 persen bangunan rusak. Dua kilometer dari sesar 50 persen rusak, dan semakin jauh dari sesar semakin minim bangunan rusak.

Gw liat juga gitu. Gw sempet heran banget, kalo emang pusat gempa ini ada di laut, kenapa Klaten dan Prambanan bisa kena. Tapi daerah temen gw di Srandakan malah minim rusak. Padahal dia deket banget ama pantai.

Pergeseran sesar diduga terjadi karena belakangan ini, sesar Opak tertekan dari dua arah sekaligus. Dari utara ditekan oleh Merapi. Dari selatan, patahan itu ditekan lempeng India-Australia. Lempeng itu menghunjam lempeng Eurasia (dimana sesar Opak berada) dengan kecepatan 7o mm pertahun. Akibatnya lempeng Eurasia mengkerut dan meregang.
Saat tegangan jenuh, lempeng Eurasia melenting, dan menimbulkan gempa. Juga melahirkan gerakan mendatar pada jalur sesar. Jadi, ada dua tenaga penggoyang Jogja, yaitu gempa dan gerakan geser sesar.

Hehehe.. Berdasarkan pernyataan di atas, isu kemaren bab tsunami hari Rebo terjawab sudah.

"Menurut CNN,disiarkan 3 hari yang lalu bahwa lempeng bumi di australia sedang bergerak ke utara menuju asia.diperkirakan bisa bertubrukan dengan lempeng bumi di selatan pulau jawa.Diperkirakan 11 hari setelah gempa jogja, atau rabu besok(7 juni) akan adagempa dahsyat dan memungkinkan terjadinya tsunami.Mohon doanya n plis forward ke temen-temen laen, jagan sampai putus di tangan kamu."

Lempeng Eurasia emang bergerak. Tapi 70 mm pertahun. Dan udah kejadian. Bukannya sedang bergerak kayak orang lari maen bola. Mau gerak lagi ke utara? Ya gak bisa. Orang udah ketumbuk waktu hari Sabtu (tanggal 27-nya). Tsunami? Gak segampang itu timbul tsunami. Dengan gempa di Aceh yang berskala 8,9 aja menghasilkan air laut yang setinggi 10-15 meter. Itu juga harus diinget gimana kondisi pantai dan daratan di Aceh.

Yang mengherankan, ada perbedaan antara publikasi BMG dan situs luar mengenai skala gempa di Jogja. BMG menyebut angka 5,9 SR, sedangkan U.S. Geologycal Survey menyebut angka 6,3 SR. Kok bisa ya? Tapi kayaknya sekarang udah diralat BMG.
Apa mungkin 5,9 SR itu yang dirasain di area Merapi? Karena gak ada alat pengukur gempa di laut selatan sana? Hehehe.. Gak tau..

Karakter Bangunan yang Rusak di Jogja
Ada 2 rekomendasi untuk mengurangi jumlah korban gempa di masa mendatang. Pertama, kawasan sekitar patahan/sesar Opak diharamkan untuk dijadikan pemukiman. Untuk tanah pertanian mungkin lebih baik. Kedua, jika pilihan pertama sulit dilaksanakan, maka bangunan di sekitar kawasan Sesar Opak harus diperbaiki struktur bangunannya.
Nah, ini peer pemerintah. Dan kesadaran warga tentunya. Pilihan pertama kayaknya agak musykil walaupun mungkin. (Loh?! Gimana sih?!) Berdasar ngobrol-ngobrol ama beberapa orang di daerah korban gempa, mereka males pindah dari desa walopun rumah rusak total. Yah..

Mencermati rumah-rumah yang rusak atau bahkan rata tanah di daerah Bantul dan Piyungan selama muter kemaren, bisa diketahui karakter kebanyakan mereka. Hampir gak ada kolom yang masih berdiri tegak. Atau bahkan mungkin emang rumah-rumah itu gak punya kolom bangunan. Tulang beton pun kadang tak punya. Padahal kolom suatu bangunan itu vital.

Menurut I Wayan Sengara, dari Research Group on Disaster Mitigation, ITB, ada tiga jenis kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa 27 Mei.
  1. Rumah yang roboh umumnya berusia tua atau dibangun sebelum 1960-an.
  2. Rumah-rumah yang dibangun dengan hanya menggunakan bahan kapur, dan tidak mempunyai besi bertulang.
  3. Rumah yang lebih modern.
  4. Rumah yang dibangun dengan bata, tapi kolom fondasinya kecil. Biasanya rumah bertipe ini roboh sebagian dan retak-retak parah di dindingnya.
  5. Rumah yang retak sebagian pada dinding.
  6. Biasanya terletak di perkotaan Bantul.

Tanpa bermaksud SARA, temen gw yang anak Kalimantan bilang kalo orang Jawa tuh beken ngiritnya.. Mo bikin rumah, semennya diirit-irit. Kapurnya dibanyakin. Pasirnya ditambahin. Jelas aja, orang yang mahal semennya.. hehehe..

Menurut temen gw nih, di Kalimantan sana, orang lebih cenderung besar pasak daripada tiang. (apa hubungannya ama bikin rumah, coba?!) Jadi, ketika mereka bikin rumah, mereka pengen yang terbaik buat rumahnya. Rumah temen gw aja berdinding kayu belian/ulin. Gila.. Padahal nebang tuh kayu aja susahnya minta ampun tuh.. He.. Beda dengan batu-bata, yang diketok palu ama pahat gedhe aja bisa bolong, kayu belian punya keuletan yang luar biasa. Kalo kayu laen direndem aer jadi lembek, ni kayu malah tambah kuat.


Belajar Dari Pengalaman? Cuma Slogan..

Slogan yang selalu jadi hiasan dimana-mana, tapi jarang dipraktekkan. Heran gw, dengan fakta bahwa di Jawa ini banyak gunung berapi yang aktif, orang yang pernah makan pelajaran geografi tingkat dasar pun mestinya tau kalo Jawa tentu bakal sering dilanda gempa.

Sejak lama gw bertanya-tanya, kenapa gak ada pelatihan gempa kayak di Jepang sana ya? Padahal berapa puluh kasus gempa di Indonesia nih? Orang panik dan was-was disini kebanyakan karena kemakan isu. Plus mistis sana-sini. Dan bukan karena dibekali pengetahuan yang cukup. Logikanya mampet. Karena emang gak tau.

Kata lagu sih, knowing nothing is better than knowing it all. Tapi kalo sampe kejadian kayak isu tsunami kemaren? Orang bisa mati sia-sia gara-gara tabrakan di tengah jalan.

Termasuk gw juga tuh panik. Hahahahhahaa...

HIDUP ORANG PANIK!!!
huahahahhaa....